Sabtu, 30 November 2013

Siapa Tuhan Kita? (1) Perkara tauhid akan menyebabkan ketenangan dan ketidaktenangan.


Sering saya bertanya, siapa sih Tuhan kita? Siapa Tuhannya Ibu dan Bapak? Tuhannya Mas, Tuhannya Mbak? Tuhannya Saudara dan Kawan-kawan semua?
Ga ada yang berani mengatakan Tuhan kita bukan Allah. Insya Allah kita akan mengatakan bahwa Tuhan kita adalah Allah. Dan insya Allah memang Tuhan kita adalah Allah. Tapi yang jadi masalah kemudian adalah bisa jadi ga murni. Ga bersih. Ada Tuhan lain bersama Allah.

Ya, ada Tuhan Tuhan lain yang kita takuti, harapi, selain Allah. Kita percaya bahwa ada kekuatan yang lain yang berkehendak atas diri Saudara, mengendalikan Saudara, menyebabkan Saudara bisa begini dan begitu. Ga sepenuhnya Allah saja. Padahal semua peran itu harusnya peran Allah. Semata peran Allah. Ga boleh ada yang lain. Dan ga ada yang lain memang sebenernya. Tapi kenyataannya begitu. Kita masih percaya Tuhan Tuhan yang lain di saat yang sama kita mengatakan bahwa Tuhan kita adalah Allah. Kita percaya ada yang memberi rizki selain Allah. Kita percaya ada yang menyebabkan kita ini payah, bagus, kuat, lemah, untung, buntung, sulit, mudah, hilang barang, hilang duit, dapat barang dapat duit, selain Allah. Bahkan sebagian dari kita, percaya bahwa kematian di tangan Allah. Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan. Namun pada saat yang sama, ia ternyata percaya juga bahwa ada yang lain yang juga bisa menghidupkan dan mematikan.

Ada yang bertanya, masa sih? Engga ah.
Saya gantian nanya, masa engga? Bener nih engga?
Ketika seseorang dibenturin sama ujian hidup. Misal dia ga bisa bayar hutang, apa yang dia katakan? “Kalo saya ga bisa bayar besok ini, saya bisa gawat nih...”
Keliatannya ga masalah kalimat ini. Tapi buat saya ini masalah. Pantes aja ga ada ketenangan. Pantes aja jadi ga tenang.

Secara kalimat seperti memang begitu. Sebab dia ga bayar hutang, besok bisa gawat. Pikiran seperti ini yang akan bener-bener membuat dia gawat.
Seorang kawan malah bercanda dengan saya. He he, katanya, loh, berarti Anda juga percaya dong? Buktinya Anda percaya bahwa dia bener-bener akan gawat bila mempercayai dia akan gawat? Harusnya Anda jangan percaya dan jangan mengatakan: “Jangan mikir begitu. Ntar kejadian beneran.”

Cukup saya renungi kalimat candaan yang juga mungkin ada benernya. Oke kita cari kalimat-kalimat yang aman. Bener. Jika salah kita memakai kalimat, salah-salah bisa jelek tauhid kita.
Tidak ada yang berkuasa atas diri kita. Termasuk pikiran kita. Kalau kita mikirnya baik, maka akan baik pula kejadiannya. Jika kita berpikir buruk, jelek, kacau, maka semua yang kita pikirin bisa terwujud. Kalimat ini masih harus ditambahin, bi-idznillaah, dengan izin Allah. Atau: Maa Syaa-Allah. Laa quwwata illaa billaah. Apa-apa semua Kehendak Allah. Tidak ada daya upaya kecuali dengan Kekuatan Allah. Jadi panjang sih setiap kalimat kita. Tapi jadi aman. Belakangan tahun saya ya begitu. Aman.

Dan tentu saja saya tidak menyarankan Saudara lalu berkata buruk, lalu menempelkan kalimat: bi-idznillaah. Jangan. Tetap saja harus pakai kalimat baik. “Dengan izin Allah (bi-idznillaah, insya Allah besok akan baik-baik saja. Allah yang akan melunaskan hutang saya, dan membuat situasi baik-baik saja.”

Kalimat positif pun harus tetap memakai dan melibatkan Allah. Jika tidak, maka benarlah, kita berpindah Tuhan. Dari Allah menjadi pikiran kita. “Pikiran kita akan mewujudkan keadaan”, begitu kata pelaku-pelaku berpikir positif yang barangkali karena ketidaktahuannya tentang tauhid jadi mengatakan itu. Ini kurang tepat. Harus hati-hati.

Sekali lagi, diri kita, pikiran kita, tidak berkuasa atas kita. Namun tetap harus melatih diri dengan kalimat-kalimat positif. Hanya, biasakan tetap memakai dan melibatkan Allah.
Kita coba liat kalimat lain:
“Besok saya bisa gawat nih kalau si Fulan ga bayar hutangnya. Bisa-bisa saya ga bisa bayar hutang saya kepada yang lain.”

Lebih baik mengatakan apa? Supaya “keadaan orang lain yang tidak bayar hutang kepada Saudara” lalu jadi Tuhan, yang akan membuat Saudara gawat atau tidak gawat?

Ya ubah dulu kalimatnya. Sertakan sedikiiiiiiit asma-Nya. Nama-Nya. “Maasyaa-Allaaah... Mudah-mudahan si Fulan besok diizinkan Allah bayar hutangnya ke saya. Sehingga mudah-mudahan saya bisa bayar hutang saya kepada yang lain. Bila tidak, saya berdoa sama Allah, supaya darimana saja tetap Allah hadirkan jalan supaya saya bisa bayar hutang ke orang lain.”
Kalimat itu akan lebih panjang. Tapi aman secara tauhid.

Saya dulu ga terlatih. Dengan izin Allah, saya mulai belajar. Kadang-kadang saya pakai juga namanya, tapi saya tetap tidak bersih juga dalam penyebutannya.
Contoh: “Ya Allah, kalau engga mobil nih besok, ga bakalan bisa jalan nih kondangan ke Garut...”

Lihat. Ini nyebut Allah juga, tapi tidak meninggalkan Tuhan yang lain. Coba lihat. Coba baca lagi. ada ga Tuhan yang lain? Ada. Yakni mobil. Kalo ada mobil, bisa jalan ke Garut. Ga ada mobil, ga bisa ke Garut. Dan di kalimat itu, tetap menyebut Allah. Tapi ternyata masih menyebut yang lain.

Ribet ya? Itu kan ungkapan biasa... Begitu kata sebagian kita. Tapi dari sini semua ketenangan dan ketidaktenangan bisa terjadi. Bulet saja Tuhannya Allah. Sehingga otomatis semuanya pun akan menjadi baik. Saya dengan izin Allah kemudian belajar mengatakan, “Ya Allah, tolong adain mobil ya. Plus rizki bensin, kesehatan, kelapangan, keselamatan. Besok saya mau ke Garut...”

Udah, begitu aja. Sehingga jadi doa aja. Bukan jadi keluhan, ketakutan, kekhawatiran. Kalo emang kita ga yakin bakal diizinkan Allah dapet mobil, tambahin kalimatnya: “... Kalau emang ga ada mobil, berarti saya ga diizinkan pergi oleh-Mu yaa Allah. Kalau bisa sih, tetap izinkan. Atau Engkau aturkan yang terbaik.”
Aman dah tuh. Masih aman.
Siapa Tuhan kita? Itu sangat berpengaruh dalam kehidupan kita.

Tulisan ini masih perlu Saudara ulangi bacanya.
Saya kepengen sekali Saudara membaca 2 atau 3x. Karenanya saya minta Saudara mengirim ke modul tugas jawaban atau berita: Ya, saya sudah baca 2-3x. Supaya saya diizinkan Allah jadi tahu bahwa Saudara bener mengulangi baca artikel pertama di Kuliah Tauhid II ini.

Insya Allah saya lampirkan tausiyah saya yang sedikit bertutur tentang Siapa Tuhan kita? Mudah-mudahan Saudara berkenan mendownloadnya. Bismillaah nanti ketika mendownloadnya.

(+) Situ ga bismillaah nih ngajar...?
(-) Sok tau...
(+) Ga ada tuh tulisannya bismillaah.
(-) Iya. Ga ada. Oke deh. Sekalian saya kasih tau. Di setiap kegiatan belajar mengajar, dan apa-apa yang terkait dengan KuliahOnline, awali dengan bismillaah dan akhiri dengan alhamdulillaah. Awal dan akhir menyebut nama Allah. Dengan Nama Allah (bismillaah) dan Segala Puji bagi Allah. Menandakan dari awal hingga akhir tidak bisa lepas dari Allah. Meniadakan juga kesombongan, keangkuhan, bahwa semua itu adalah saya. Aku. Kita hilangin dengan membaca basmalah dan hamdalah. Namun untuk kemudahan penulisan dan lain sebagainya, saya ga menulis lagi. Tapi upayakan dan diupayakan baca. Kalimat ini untuk saya dan untuk Saudara semua. Sungguhpun ga tertulis. Tapi Saudara dan saya, kita semua, sama-sama baca.
(+) Kenapa sih ga dituliskan saja? Kan lebih aman. Sertakan saja di awal. Bismillaah... Dan di akhir: Alhamdulillaah.
(-) Ga mesti tertulis.
(+) Ya terserah.
(-) Gimana menurut Saudara?

Salam hormat,
Yusuf Mansur.


(+) Tuh, tetap kan ga alhamdulillaah...
(-) He he he, udah pamit tuh... Udah nyebut salam.
(+) Tapi ga Assalaamu’alaikum tuh... Dan ga ber-alhamdulillaah.
(-) Duh...
(+) Koq duh...?
(-) Iya. Iya. Alhamdulillaah. Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
(+) Wa’alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh. Kayak nulis surat ya?
(-) Udah salam tuh.
(+) Iya. Tahu. Ini kayak nulis surat. Pake salam di awal dan di akhir.
(-) Makanya, biasa aja dah...
(+) Iya dah. Kan saya juga mau belajar.

(-) Ok kawan-kawan semua. Download ya materi tausiyah yang kami sertakan atas izin Allah di perkuliahan perdana setelah Mukaddimah kemaren. Kepada Allah kita berdoa semoga kita semua bisa menjadi lebih baik lagi tauhidnya, imannya, islamnya, dan amal salehnya. Salam buat semua keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar